Anak Amakele Seram Alifuru Nusa Ina

Selamat Datang di Blog, anak Amakele Seram Alifuru.
Life is a "choice", immediately determine the "choice" ..
or "choice" will determine your life.

Somba UPU LANITE. Tabae UPU INA AMA

Sabtu, 05 Februari 2011

ISLAM DALAM POLITIK DI INDONESIA

ISLAM DALAM POLITIK DI INDONESIA

I.         PENDAHULUAN

Salah satu faktor penting yang membuat negara kuat dan dapat menjamin kedamaian dalam masyarakat yang majemuk, adalah faktor politik. Politik memegang peranan penting untuk menjamin keberadaan setiap lapisan masyarakat dalam satu negara. Masalah politik memang sepenuhnya harus di atur dan dikembangkan oleh negara yang memang mengerti dan memahami situasi dan kondisi warga negara, sehingga warna politik dalam satu negara itu mencerminkan konteks masyaraktnya. Sungguh suatu hal yang ironis bahkan mengkhawatirkan ketika suatu agama tertentu memperjuangkan idelogi politik yang dilandaskan dari ajaran agama, untuk diterapkan dalam segala segi pada suatu negara yang memang penuh dengan kemajemukan. Negara Indonesia sendiri sebagai negara majemuk dalam hal agama, tengah berhadapan dengan masalah apakah negara ini harus bercorak “Islam”, dengan pertimbangan bahwa mayoritas agama masyarakat Indonesia adalah Islam, namun di sisi lain terdapat juga pandangan bahwa negara ini harus “Nasionalis”, dengan pertimbangan bahwa Indonesia secara sosio-keagamaan bersifat majemuk. Maka demi kesatuan dan persatuan nasional konstruksi negara adalah Pancasila, sebagai suatu ideologi yang dilandasi atas kebersamaan membangun rasa nasionalis dalam latar belakang yang berbeda.
Harus di akui bahwa perjalanan politik Islam yang ingin menjadikan Islam sebagai dasar negara Indonesia telah mengalami jalan buntu. Sejarah yang panjang dari perjalanan bangsa Indonesia sejak kemerdekaan 1945, banyak melahirkan Pemikir-pemikir Islam yang ingin menggantikan ideologi negara yang berasaskan Islam. Namun, sekali lagi mereka harus menerima kekecewaan, baik pemerintahan Soekarno sampai Soeharto melihat kekuatan politik Islam terdapat dalam partai-partai politik, sehingga hampir sepanjang empat dekade kedua pemimpin ini mencoba untuk “menjinakan” kekuatan partai politik Islam, walaupun terdapat kecaman, penolakan, bahkan rasa curiga bagi umat Islam sendiri yang melihat ke dua pemimpin ini mencoba membuat ideologi negara sekular[1]
Dari hal ini, maka muncul rasa ketertarikan untuk melihat perjalanan dan perkembangan politik Islam di Indonesia, karena harus juga diakui bahwa dalam sejarah pembentukan dan perjalanan bangsa Indonesia, agama Islam (salah satu) juga berperan dalam kemerdekaan dan pembangunan bangsa. Walaupun saat ini negara kita masih dilihat sebagai nasionalis, namun sangat sering kita mendengar, dan membaca, bahwa ada beberapa kalangan Islam yang ingin mencoba mengangkat wacana soal pembentukan negara Islam, dan hal ini harus diakui tidak lepas dari perkembangan politik Islam di Indonesia yang telah berkembang dari masa ke masa. Fenomena ini yang menarik untuk di telusuri dengan mencoba melihat pergerakan politik Islam dalam babakan sejarah bangsa Indonesia.
II.      ISI
Seperti yang dijelaskan di atas bahwa hubungan politik antara Islam dan negara Indonesia pada sebagian besar memang mengalami pertentangan, bahkan kecurigaan satu sama yang lain. Dan salah satu permasalahan penting tentang hubungan itu ialah Indonesia berlandaskan asas Islam dalam ideologi politik. Hal ini juga dikarenakan adanya pandangan yang melihat bahwa Islam sebagai agama yang holistik, atau Islam sebagai instrumen Allah dalam memahami dunia. Bahkan ada pendapat yang lebih ekstrem lagi melihat bahwa Islam dapat dipandang sebagai “masyarakat madani”, “peradaban yang lengkap”, bahkan “agama dan negara”.[2]
Kegagalan mendamaikan masalah ini rupanya terjadi di berbagai negara yang mayoritas Islam, hal ini juga terjadi di Indonesia. Pertentangan politik Islam di Indonesia tidak luput dari situasi yang melatarbelakangi pemikiran tersebut dalam suatu babakan sejarah. Berikut gambaran politik Islam di Indonesia dalam beberapa periode. 
a.        Periode Pra Kemerdekaan : Seruan ke Arah Kesatuan antara Islam dan Negara[3]
Dengan meningkatnya rasa nasionalisme Indonesia pada dekade pertama abad ke-20, maka masyarakat pribumi mulai melakukan gerakan untuk berjuang menentang kolonialisme Belanda dan menuntut kemerdekaan bangsa Indonesia. Pada masa ini Islam dipandang sebagai mata rantai penyatu komunikasi untuk membangun rasa persatuan  yang nasionalis. Pada awal periode ini memuncak pada dibentuknya organisasi politik Islam yaitu Sarekat Islam (SI) yang bermula dari organiasi dagang. SI berkembang pesat dengan pemimpinnya H.O.S Tjokroaminoto, Agus Salim, dan Abdul Moeis. SI menuntut agar mengembangkan program politik pemerintahan sendiri (oleh rakyat Indonesia) dan kemerdekaan penuh.
            Namun, sangat disayangkan SI yang waktu itu tengah berkembang sebagai pergerakan politik pertama Islam mulai memudar dipenghujung tahun 1920-an. Hal ini dikarenakan merosotnya kepemimpinan SI dalam hal memperjuangkan kemerdekaan, tetapi juga ada paham Marxisme yang coba di susupi di dalam pola pemikiran SI, sehingga banyak anggota dan cendekiawan (salah satunya Soekarno yang adalah anak didik Tjokroaminoto) SI mulai ragu untuk bergabung dalam menyampaikan ide atau gagasan seputar kemerdekaan Indonesia. Diperkenalkannya Marxisme dalam SI terdapat konflik dan perpecahan dalam SI, karena upaya hubunganmasing-masing Faksi (faksi Marxisme dan faksi Islam) yang tidak mempunyai kontrol dan pengaruh dalam menyampaikan agenda kemerdekaan. Dalam pertikaian ini maka pada tahun 1927 Tjokroaminoto medirikan Partai Nasional Indonesia (PNI) dengan menembangkan faham ideologis politik yang berbeda. Dengan latar belakang inilah maka mulai satu persatu partai politik, ataupun organisasi-organisasi Islam muncul dengan tujuan politik yang sama yaitu memeperjuangkan kemerdekaan dari pasukan kolonial Belanda. Dalam beberapa muktamar SI, paham Marxisme juga pengikut-pengikutnya di keluarkan dalam tubuh SI. Mereka yang mendukung paham Marxisme pada kemudian hari membentuk Partai Komunis Indonesia (PKI).
            Gerakan-gerakan Islam yang muncul, harus juga dilihat sebagai respon terhadap pemerintah Belanda yang berusaha untuk melakukan depoltisasi (menghentikan pergerakan politik) Islam. Memang pemerintah mendukung Islam dalam Bidang keagamaan, tetapi mencegahnya untuk berperan dalam bidang politik. Islam di depolitisasi oleh pemerintah Belanda, tapi di politisasi oleh rakyat Indonesia.[4]
b.        Periode Pascarevolusi : Perjuangan Demi Islam Sebagai Dasar Ideologi Negara[5]
Hampir selama lima tahun setelah Proklamasi 17  Agustus 1945 Indonesia memasuki masa Revolusi (1945-1950). Dalam periode ini tidak ada hambatan yang serius bagi pemerintah dalam menghadapi gerakan politik Islam atau corak hubungan Islam dan negara untuk sementara di hentikan. Semua elemen bangsa semuanya terkonsentrasi untuk memampukan bangsa Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan yang baru berdiri. Kelompok Islam dan nasionalis “Seolah-olah” hidup harmonis.
Sekitar bulan Desember 1949, kelompok Islam perlahan-lahan mulai menunjukan kekuatannya yang besar dalam politik Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan dibentuknya partai Masyumi (November 1945), melalui partai ini melahirkan tokoh politik Islam yang pertama yang menarik perhatian besar dari umat Islam sendiri, yaitu Sjahrir yang menjabat perdana menteri pada kebinet Revolusi. Setelah Agustus 1950 maka partai-partai politik Islam mengalami penyegaran kembali dan mulai mengembangkan peran dalam kabinet.
Penting juga untuk dicatat di sini, bahwa menurut para ahli entitas politik yang bersatu, Indonesia saat itu sangat lemah. Dilihat dari perspektif teori negara Indonesia waktu itu lemah dalam hal memperoleh kontrol Sosio-politik, bahkan untuk memanfaatkan sumber daya manusia dan alam. Hal ini tervukti dengan munculnya pemberontakan Darul Islam (DI), Pemerintah Revolusioner (PRRI), dan Perjuangan Semesta Alam (Permesta). Ketika kontrol politik negara mulai merosot maka Aksi Polisionil Belanda (1947) yang pertama dilakukan, akhirnya Kartosuwirjo menyerukan Jihad untuk melawan Belanda (juga dikarenakan adanya penolakan Renville 1948) dari masalah ini maka Jawa Barat dilepaskan dari Bangsa Indonesia. Dengan menganjurkan Jihad Kartosuwirjo juga langsung memprokalmirkan berdirinya negara Islam (1949) yang mencakup seluruh Indonesia.
Konsep Negara Islam mendapat banyak pertentangan oleh kaum Nasionalis, baik Soekarno dan Hatta menolak konsep ini, sehingga kaum nasionalis mulai menyerukan agar segenap elemen bangsan kembali pada Pancasila sebagai ideologi negara, dengan mengingat realitas bangsa Indonesia yang heterogen. Hal ini juga didukung oleh tokoh-tokoh nasionalis lainnya, seperti Politisi PNI, Aktivis Kristen. Akhirnya Soekarno mengeluarkan Dekrit yang menyatakan kembali ke UUD 1945. Dengan demikian sekali laki kekuatan politik Islam berhasil dikalahkan oleh pemerintah selama masa demokrasi terpimpin oleh Soekarno. Partai Politik Islam mulai mendapat perhatian negatif dari umat Islam sendiri, keculi NU yang mulai menata orientasi Politiknya.
c.         Periode Orde Baru : “Penjinakan” Idealisme dan Aktivisme Politik Islam[6]
Dengan mulai berkuasanya pemerintah Orde Baru menyusul gagalnya Kudeta PKI 1965, banyak pemimpin politik Islam yang menaruh harapan besar. Harapan itu terlihat dari para pimpinan Masyumi yang dalam pemerintah demokrasi terpimpin begitu disudutkan. Mereka mulai mencita-citakan kembali adanya gerakan politik Islam yang masuk dalam panggung politk Nasional. Hal ini semakin jelas dengan di bebaskannya para pimpinan Masyumi yang sebelumnya di penjara oleh Soekarno (Moh. Natsir, Sjafruddin Prawiranegara, Kasman Singodimedjo, Prawoto Mangkusasmito, dan Hamka). Tetapi, pemerintah Orde Baru memperhatikan bahkan membatasi gerakan politik Islam ini, yang di pimpin oleh para pemimpin Masyumi. Lebih tegas lagi pada tahun 1967 Soeharto menegaskan bahwa “militer tidak akan menyetujui rehabilitasi kembali partai islam (Masyumi)”. Militer masih mencurigai Masyumi, akibat “luka” lama yang terjadi pada masa orde lama di mana Militer dan pengikut Masyumi banyak melakukan pertempuran tentang ideologi negara.
Dari fenomena ini maka banyak pemimpin dan aktivis masyumi yang merasa bahwa rehabilitasi partai sudah mustahil, karena pemerintah turut melakukan intervensi di interen partai. Pemerintah mengijinkan adanya rehabilitasi, asalkan pendefinisian kembali agenda politik yang dapat di terima oleh pemerintah. Pada 20 Febuari 1968 partai Muslimin Indonesia (Parmusi) didirikan, namun para aktivis Masyumi tidak senanga dengan kehadiran partai baru ini, atas dasar ini maka bekas pimpinan Masyumi Moh. Roem di jadikan ketua Parmusi. Susunan partai ternyata tidak direstui oleh pemerintah, sehingga partai mengambil keputusan untuk mengambil komposisi pimpinan partai sebelum kongres.
Dalam perkembangannya perkembangan politik Islam memainkan peranan penting dalam panggung politik nasional. Tetapi karena terdapat rasa saling curiga dari para pemimpin politik Islam terhadap pemerintah Orde Baru, yang menagarah pada paham sekularisasi. Pada pemilihan 1971, kekuatan Islam Politik makin merosot. Ini disebabkan kebijakan-kebijakan yang dilakukan pemerintah semakin membuat partai politik Islam tidak mendapat dukungan, melaninkan partai Golkar yang adalah “kaki-tangan” pemerintah mendapat simpati dari masyarakat waktu itu.
Dengan hasil pemilihan ini partai politik (gerakan politik islam) tidak mendapat simpati dan dukungan, atau wadah politik islam mulai memudar. Walaupun terdapat banyak kekecewaan dari warga muslim terhadap pemerintah waktu itu yang dianggap terlalalu otoriter. Serangan akhir pemerintah pada politik Islam muncul pada tahun 1983 di mana pemerintah, khususnya presiden Soeharto yang telah melakukan sosialisai Pancasila melihat mereka (partai Islam) masih ragu dan tidak meyakini pancasila sebagai dasar negara. Sentimen pemerintah terhadap politik Islam ini mengakibatkan terjadinya kekacauan Pemilu 1982.
Berdasarkan uraian tentang pergerakan politik Islam dalam pemerintahan Indonesia, kama dikatakan bahwa hubungan politik kedua belah pihak memang mengalami pertentangan yang esensi(yang dilatar belakangi idealisme dan aktivisme) khusunya tentang menerapkan dasar negara yang bersifat Islamiah (Syariah) atau bersifat Nasionalis (Pancasila). Namun sekali lagi perlu ditegaskan bahwa gerakan politik Islam harus kehilangan kekuatan pada masa pemerintahan orde baru, dengan presiden Soeharto.
d.        Periode Pemerintah zaman Reformasi-sekarang
Setelah berakhirnya rezim orde baru yang dibuktikan dengan lengsernya Soeharto, yang saat itu menjabat sebagai presiden republik Indonesia, maka membuat gerakan politik Islam seolah-olah memuncuk. Hal nampak setelah pemerintah yang baru yang dinamakan zaman Reformasi (kembali pada sistem pemerintahan birokrasi yang seutuhnya) memfokuskan pada sistem pemerintahan demokrasi, yaitu dari rakyat, untuk rakyat, dan oleh rakyat. Dan didalamnya terdapat pengakuan dan jaminan secara bebas untuk melakukan berbagai aktivitas politik dalam cara-cara yang santun dan tidak menyalahi aturan yang berlaku.
Dari jaminan ini maka lahirlah berbagai partai politik yang bertarbelakang agama (salah satunya partai Islam yang belatar belakang Masyumi). Kebebasan politik ini menyebabkan pergerakan politik Islam semakin kuat mengekspresikan sikap politik yang ekstrem, bahkan melakukan kritik tajam terhadap pemerintah. Kekuatan politik Islam di zaman ini semakin nyata lewat banyaknya dukungan dan simpatisan yang mulai mencoba masuk dalam parlemen, bahkan pemerintahan
Beberapa pemikir Islam yang nasionalis seperti Gusdur melihat bahwa fenomena partai politik Islam saat ini, seperti mengingatkan kita kembali dengan perjuangan SI dan Partai Masyumi yang ingin mendirikan negara Islam. Bahkan lebih keras lagi, saat ini terdapat juga beberapa pemikir Islam yang radikal dan coba menyusupi basis-basis Organisasi Islam yang besar (NU dan Muhammadiyah), sehingga mereka mencoba mengganti pemikiran organisasi-organisasi Islam tersebut dengan pemikiran yang kolot dan radikal. Mereka mulai mengganti budaya nasionalis yang telah menjadi tradisi dan menjadi bagian integral bangsa Indonesia. Bahkan disinyalir ada salah satu partai yang berlandaskan Islam yaitu Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan Hizbut Tharir Indonesia (HTI) yang mencoba membuat Islam di Indonesia sebagai Islam garis keras dan radikal[7].
Hal yang menarik juga untuk di pahami ternyata partai-partai ini tidak mendapat perhatian dari masyarakat muslim sendiri. dari beberapa pemilu yang diselenggarakan memperlihatkan bahwa partai nasionalis yang memang memperoleh kemenangan mutlak. Gejala ini merupakan suatu “penjinakan” dari pergerakan politik Islam di era sekarang ini yang tidak mendapat perhatian bagi mayoritas umat muslim sendiri.
e.       Analisis
Harus di akui bahwa pada awal pergerakan politik Islam di Indonesia, sebenarnya di latar belakangi oleh sikap nasionalisme terhadap kolonialisme Belanda. Hal inilah yang coba di rangkum oleh cendekiawan muslim untuk menyatukan kekuatan Islam dalam dunia politik di Indonesia dalam melawan penjajah. Namun, sejarah mencatat ternyata dalam struktur organisasi politik Islam itu sebenarnya kurang kuat dalam menyatukan visi, karena di dalamnya terdapat beberapa perbedaan pandangan yang hakiki. Dan salah satunya mengenai dasar negara, di mana sebagian kelompok ingin agar dasar negara Indonesia adalah Islam, dan yang lain menginginkan bahwa dasar negara Indonesia adalah Pancasila. Kelompok yang pertama tadi mungkin dilihat sebagai kelompok garis keras Islam yang di pengaruhi oleh mazhab Wahabi yang mencita-citakan negara berdasarkan hukum syariah.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa cita-cita politik Islam tidak akan diterima, karena di satu sisi tidak semua orang Islam juga menghendaki demikian. Tetapi, di sisi lain keberadaan bangsa Indonesia adalah majemuk, sehingga tidak bisa dipaksakan satu hukum yang berdasarkan satu agama tertentu pada agama yang lain. Sekalipun Islam adalah agama yang mayoritas di Indonesia, namun dalam terdapat juga agama minoritas yang patut untuk di hargai dan dihormati akan keberdaan mereka sebagai suatu kekayaan bangsa.
Dalam era pancasila saat ini ada kecenderungan ke arah cita-cita politik Islam semakin menguat, bukan dalam bentuk organisasi atau partai, melainkan berkembang di bawah payung pancasila. Dan jika memang benar demikian kita diperhadapkan pada realitas politik yang memang rumit dan dinamis. Oleh karena itu, kita perlu belajar dari sejarah bahwa pergerakan politik Islam dari zaman Kolonialisme sampai pada orde Reformasi memang tidak sehat bagi ketahanan nasional, sehingga perlu untuk di waspadai bersama.
III.        Kesimpulan
Mengakhiri tulisan ini maka akan penulis paparkan beberapa catatan kesimpulan, yaitu :
1.      Perkembangan politik Islam tidak dapat dilepaskan dari sejarah perjalanan bangsa Indonesia, dari sebelum kemerdekaan sampai sesudah kemerdekaan.
2.      Politik Islam cenderung bersifat ekstrem yaitu ingin mengganti ideologi negara pancasila dengan asas Islam, dengan para tokoh yang bersifat garis keras. Dan harus di waspadai dalam menjaga kehidupan yang majemuk.
3.      Tidak semua orang Islam menerima bahwa Ideologi negara harus digantikan dengan konsep Islam, melainkan dengan pancasila dapat diterima sebagai konsensus bersama.

Literatur
Effendy Bahtiar, Islam dan Negara : Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, Jakarta : Paramadina 1998
Zakaria J. Ngelow, “Islam dan Kristen dalam Politik di Indonesia”. Meretas jalan teologi Agama-agama, Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2000
Abdurahman Wahid (ed), Ilusi Negara Islam : Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia
Jakarta : The Wahid Institute, 2009


[1] Bahtiar Effendy, Islam dan Negara : Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, Jakarta : Paramadina 1998, hlm. 2
[2] Ibid, hlm. 60
[3] Ibid, hlm 61-91
[4] Zakaria J. Ngelow, “Islam dan Kristen dalam Politik di Indonesia”. Meretas jalan teologi Agama-agama, (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2000) hlm. 123
[5] Bahtiar Effendy, Op.Cit, hlm. 92-110
[6] Ibid, hlm. 111-124
[7] Abdurahman Wahid (ed), Ilusi Negara Islam : Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia  (Jakarta : The Wahid Institute, 2009) hlm. 20-22

Tidak ada komentar:

Posting Komentar