Anak Amakele Seram Alifuru Nusa Ina

Selamat Datang di Blog, anak Amakele Seram Alifuru.
Life is a "choice", immediately determine the "choice" ..
or "choice" will determine your life.

Somba UPU LANITE. Tabae UPU INA AMA

Kamis, 10 Februari 2011

Toleransi Intoleransi Islam dan Kristen


Toleransi Intoleransi Islam dan Kristen
Di Indonesia
(Prespektif Minahasa)
By Endra A. E. Walangitan, S.Teol
Pendahuluan
Perjumpaan Islam dan Kristen dalam sejarah dunia, bermula pada ekspansi politik dam militer Islam pada abad-abad pertama kebangkitannya dengan menaklukan daerah-daerah yang telah beragama Kristen, Proses penaklukan wilayah ini sampai pada jantung Eropa dan berhasil berkuasa sampai dekat jantung Eropa dan berhasil masuk sampai ke wilayah Spanyol  di Barat dan Persia di Timur. Tahap selanjutnya adalah perang-perang salib (1095-1291). Perang salib telah terjadi sekitar 9 kali dari abad 11- 13, dan akibat dari perang salib tersebut telah meninggalkan luka-luka yang mendalam terhadap agama islam itu sendiri. perjumpaan Islam dan Kristen telah memberikan beberapa dampak yang penting bagi bangsa-bangsa Eropa, salah satunya ialah perkembangan Ilmu dan Teknologi, sehingga bangsa barat semakin berjaya akan kepentingan ilmu, sedangkan dunia Islam telah mengalami kemunduran.
Dalam perjumpaan itu bangsa-bangsa Barat yang menaklukan dan mengekspoloitasi  Asia-Afrika juga mengkristenkan bangsa-bangsa kedua benua itu, sehingga muncul tuduhan, bahwa Ekspansi Barat sebagai bagian dari misi Kristen. Hal ini dikenal dengan slogan yang bertujuan mencapai 3 G (Gold, Glory, God)[1]. Kekalahan bangsa-bangsa Islam dalam perjumpaan itu ternyata menimbulkan reaksi pihak Islam, melalui gerakan anti Kolonialisme, yang dilatarbelakangi oleh semangat nasionalisme. Maka kehadiran bangsa barat (agama Kristen) dianggap sebagai musuh dari umat Islam, yang pada awalnya melakukan ekspansi-ekspansi militer di daerah-daerah wilayah Islam.
Tanpa disadari kehidupan beragama antara Islam dan Kristen telah mengalami perkembangan yang signifikan dalam taraf yang positif, yaitu dalam hal menjalin kerjasama, kekeluargaan. Situasi inilah yang memungkinkan terjadi rasa toleransi antara umat beragama untuk saling menghargai dan menghormati penganut agama lain dan beribadah menurut kepercayaannya. Dan lebih dari itu toleransi juga mengindikasikan adanya suatu keterbukaan yang mengikat dalam menerima kepelbagaian iman dalam suatu masyarakat.
Toleransi Umat Kristen dan Islam di Indonesia
Pada umumnya banyak kaum Akademisi yang menaruh perhatian pada kemajemukan Agama melihat bahwa di Indonesia kerjasama dan hidup bersama antar golongan umat yang berbeda agama telah berjalan baik. Atau dapat dikatakan bahwa toleransi antara satu kelompok terhadap kelompok lain sudah cukup tinggi, sehingga sikap “toleransi” ini telah melahirkan suasana hidup yang harmonis dan penuh dengan kekeluargaan antara umat yang berbeda dalam latar belakang agama, budaya, dan ras. Maka dapat dikatakan bahwa Indonesia dapat dijadikan anutan/contoh untuk negara-negara lain yang mengalami konflik atau pertikaian karena latar belakang agama, budaya, dan lain-lain.
Kata Toleransi sendiri ialah merupakan Istilah yang menggambarkan dalam konteks sosial, budaya dan agama yang berarti sikap dan perbuatan yang melarang adanya diskriminasi terhadap kelompok-kelompok yang berbeda atau tidak dapat diterima oleh mayoritas dalam suatu masyarakat[2]. Dalam pengertian ini terlihat bahwa istilah Toleransi ingin memberikan penegasan untuk menghilangkan pemahaman yang terlalu ekstrim, sehingga tidak menerima perbedaan dan melihat bahwa golongan kita yang paling kuat dalam suatu masyarakat.
Dalam perjalanan bangsa Indonesia, sampai pada puncak kemerdekaan dari kaum penjajah, memang tidak dapat dilepaskan dari peran kaum dari umat beragama yang di dalamnya memiliki sikap toleransi terhadap sesama penganut agama. Ketika masa kebangkitan nasioanal para warga di tuntut untuk mempunyai rasa membela tanah air terhadap serangan dari kaum kolonial Belanda, dari hal ini para pemimpin-pemimpin agama baik dari Islam dan Kristen mulai duduk bersama dan mencari solusi dalam menciptakan kemerdekaan untuk seluruh bangsa Indonesia. Implementasi kerjasama ini terlihat di mana para wakil-wakil politik dari Agama Islam dan Kristen mulai sepakat untuk membentuk Undang-undang Dasar 1945 sebagai pengakuan rasa nasionalis akan keutuhan dan perdamaian rakyat Indonesia.
Toleransi Dewasa Ini
Sejarah telah memberikan kepada seluruh umat bahwa di saman yang penuh dengan permasalahan sosial dan kemajemukan, maka diperlukan adanya sikap toleransi yang tinggi antar sesama umat beragama. Berbagai krisis kehidupan sudah nyata dalam kehidupan manusia, bahkan juga ada kelompok-kelompok yang fundamental ingin mencoba menggoyahkan sistem hukum dan ideologi Hukum di Indonesia dalam rangka melegalkan satu agama saja untuk menjadi agama negara. Dan hal inilah yang menjadi realitas dalam perjalanan umat beragama dewasa ini.
Harus diakui bahwa berbicara mengenai pengakuan satu agama untuk menjadi agama negara merupakan situasi yang “sensitif”, karena secara langsung agama-agama yang lain akan merasa di anak-tirikan, tanpa ada rasa kebebasan untuk menjalankan peribadatan sesuai dengan agama yang dianut. Permasalahan ini telah mencoreng perjalanan toleransi kehidupan umat beragama saat ini di Indonesia, sehingga kenyataan pahit haru di terima oleh seluruh masyarakat bahwa pada beberapa tahun yang lalu telah terjadi konflik dengan latar belakang di beberapa tempat, sehingga menimbulkan korban material, bahkan korban nyawa.
Peran Tokoh-tokoh Agama
Harus diakui bahwa kenyataan pahit yang dilihat bersama atas kasus kerusuhan di beberapa tempat di Indonesia, adalah lemah dan berkurangya rasa toleransi sesama umat beragama. Dan hal ini juga tidak lepas dari peran, pengajaran yang dilakukan oleh para tokoh-tokoh agama. Para pemuka/tokoh agama juga sangat penting dalam memberikan pemahaman yang tepat bagi umatnya untuk bergaul dengan umat yang lain.  Untuk itu peranan tokoh-tokoh agama seharusnya lebih mengarahkan pemahaman umatnya untuk saling bekerjasama dengan umat yang lain dalam berdialog, berinteraksi, dan bekerjasama dalam tugas-tugas kemanusiaan yang lebih kompleks dan menuntut kerjasama semua umat beragama. Dan kita semua harus menunjukkan keterbukaan pandangan (openness of mind) dan keinginan untuk belajar (eagerness to learn), dan lebih memperhatikan isu-isu yang tepat. Tidak sepatutnya kita menunjukkan kesombongan religius, intoleransi, dan kemutlakan dogmatik.
Berdasarkan alasan di atas maka inti dari toleransi bukan hanya menjadi sekedar wacana dari para tokoh-tokoh Agama, melainkan toleransi umat beragama harus menjadi tindakan (action) dari setiap umat yang memang memiliki tanggungjawab sebagai warga negara dalam menjaga dan memelihara suasana yang harmonis.
Hasil Survey Toleransi Umat Beragama[3]
Sekitar 42 persen orang Islam di Indonesia keberatan apabila penganut agama lain mendirikan tempat ibadah di lingkungannya, kata hasil survey baru. Hasil survei Lembaga Survei Indonesia, LSI, tentang kadar toleransi antar umat beragama di Indonesia, menunjukkan bahwa mereka cukup toleran dalam masalah sosial. Misalnya, mereka disebutkan tidak keberatan hidup bertetangga dengan orang yang berbeda agama. Tapi, menurut peneliti LSI Iman Suhirman, sikap toleran itu berkurang, terutama di kalangan Umat Islam, apabila memasuki wilayah teologis dan politik, seperti soal pembangunan tempat ibadah. Wartawan BBC di Jakarta Heyder Affan melaporkan , hasil survei LSI ini tidak menyebutkan alasan sebagian responden yang beragama Islam menolak pembangunan rumah ibadat milik pemeluk agama lainnya. Tapi, menurut Iman, data survei yang dilakukan awal tahun 2006 dan di 33 provinsi, ini menunjukkan bahwa penyelesaian masalah toleransi antar umat beragama belum selesai. Wakil Sekjen Nahdlatul Ulama, NU, Masduki Baidlawi mengatakan, pemerintah harus melakukan pendekatan psikologi keagamaan dalam masalah ini. Itulah alasan, Masduki Baidlawi melihat revisi Surat Keputusan Bersama Menteri Dalam negeri dan Menteri Agama tentang pembangunan rumah ibadah perlu dikaji ulang, karena masih terkesan menganaktirikan agama di luar Islam. Tetapi, menurut penasihat Ormas Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Hajdrianto Tohari, yang penting semangat revisi itu jangan hanya untuk kepentingan kelompok agama tertentu. Sejauh ini materi revisi Surat Keputusan Bersama, SKB dua menteri itu, masih ditanggapi secara pesimis oleh kalangan gereja, meski sebagian pimpinan umat islam mengganggapnya sebagai jalan terbaik. Sebagian Umat Kristen menganggap aturannya masih menyulitkan mereka, misalnya, untuk membangun rumah ibadah, maka harus mendapat dukungan paling sedikit 60 orang masyarakat setempat -- yang harus disahkan lurah atau kepala desa, selain tanda tangan dan kartu identitas 90 orang yang akan menggunakan rumah ibadah tersebut.
Belajar Toleransi Dalam Konteks Minahasa
Dalam situasi masyarakat yang berbudaya, maka sudah seharusnya masyarakat yang tinggal dan menjalani kehidupan dalam suatu budaya melakukan sikap yang bernuansa budaya itu sendiri. hal inilah yang terjadi dalam situasi budaya Minahasa. Ketika di daerah-daerah lain di Indonesia ini sibuk untuk melakukan perdamaian antar agama di tengah konflik yang berkepanjangan, maka di daerah Minahasa sendiri seolah-olah tidak pernah tersentuh oleh konflik yang berbaau Agama dan etnis tertentu. Belajar dari semboyan yang populer saat itu “Torang Samua Basudara”, semakin mengikat seluruh umat beragama untuk saling menjaga hubungan yang saling menghormati satu dengan yang lainnya. Sampai saat ini sikap bersaudara masih terlihat antara umat yang berbeda-beda agama, contoh yang kongkrit ketika ada hari-hari raya dari suatu agama, maka umat yang beragama lain hadir juga untuk menjaga tempat pelaksanaan ibadah dari agama yang merayakan haru raya tersebut (Kristen: Natal, Jumat Agung, paskah. Sedangkan Islam : Idul Fitri, Isra Miraj, dll) aktivitas ini semakin memberi keterikatan secara fundamental sebagai sesama penganut agama, maka merupakan tugas bersama untuk menjaga perdamaian.
Salah satu elemen penting dalam budaya Minahasa itu sendiri adalah “Keterbukaan”, di mana sikap inilah yang menjadi suatu falsafah bagi masyarakat Minahasa untuk memberikan kesempatan bagi siapa saja untuk datang di tanah Minahasa, tinggal bahkan melakukan berbagai aktivitas. Keterbukaan juga dilihat sebagai satu kekuatan Psikologis[4]. Kekuatan ini menjadi jaminan adanya sikap yang toleran terhadap sesama manusia walaupun dalam latar belakang yang berbeda.
Refleksi
Perkembangan pemikiran telah membawa pemahaman toleransi itu menjadi suatu kebutuhan yang mendesak untuk di realisasikan, dalam memberikan makna atas kemajemukan yang menjadi wajah dari bangsa Indonesia. Namun yang juga menjadi perhatian kita bersama sebagai umat yang beragama, bahwa kita mempunyai tanggungjawab untuk mampu melaksanakan sikap toleransi itu, hal ini bertujuan agar kita dapat menghidarkan pemahaman toleransi ini hanya sebatas perbincangan kaum “atas” atau para tokoh-tokoh agama.
Kebutuhan sekarang menurut hemat penulis, yaitu toleransi harus memberikan perubahan makna, karena sejarah telah mencatat justru di tengah-tengah toleransi inilah maka ada pihak-pihak tertentu yang coba memberikan doktrinal yang baru, sehingga ada kepentingan-kepentingan pribadi maupun kelompok yang akan di angkat dengan sarana toleransi itu sendiri. Toleransi hanya menjadi “politis” untuk mendapatkan suatu kepentingan.
Seharusnya toleransi harus bersifat Dialogis. Sikap ini menuntut segala pihak yang ada untuk mampu memasukan beberapa pengalaman bersama melalui dialog dengan orang-orang yang berkepercayaan lain di segala tempat.[5] Selain itu sikap dialogis ini akan membawa umat untuk merumuskan nilai-nilai keimanan/teologis yang yang ada, dan lahir akibat pengalaman-pengalaman dalam berhubungan dan berdialog dengan orang yang berkepercayaan lain.



[1] Tim Balitbang PGI, Meretas Jalan Teologi Agama-agama di Indonesia. (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2000), dalam Tulisan Islam dan Kristen dalam Politik di Indonesia, Oleh Zakaria J. Ngelow
[2] http :id//wikipedia/toleransi/. Dikunjungi 21-04-2009
[4] Magdalena H. Kumaat-Tangkudung, Pandangan Hidup Orang Minahasa dalam Exodus (Fakultas Teologi UKIT :No.13 Tahun X,Juli 2002) h. 39
[5] Eka Darmaputera, Iman Sesamaku dan Imanku : Sebuah Penuntun Studi Untuk Memperkaya Penghayatan Teologi Kita Melalui Dialog Antar Agama, (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2002) h. Xiv

1 komentar: