Anak Amakele Seram Alifuru Nusa Ina

Selamat Datang di Blog, anak Amakele Seram Alifuru.
Life is a "choice", immediately determine the "choice" ..
or "choice" will determine your life.

Somba UPU LANITE. Tabae UPU INA AMA

Minggu, 06 Februari 2011

Lot pung anak cewe mengenang Mamanya

Hut ke-76, Prof.DR.W.Roeroe. ( Direktur Pascasarjana Teologi UKI-YPTK Tomohon)
Refleksi:
 Lot pung anak cewe mengenang Mamanya

Abstract

The story about Lot, his wife and their two daughters is told in the Old Testament (Gen. 19:1-38); it is heavily dominated by gender biased expressions. If the story is read carefully, it becomes evident that Lot's wife and two daughters have been given very negative roles. In the story Lot's wife is depicted as a defiant woman. In her lift she more relies on wealth than on obedience to God. It is only appropriate that she receives God's punishment because of her disobedience. Lot is depicted as an ideal man before God, whereas his wife as a woman rebelling against God. In this article, Kiki Arthur tries to encourage his readers to read the story of Lot and his wife from the viewpoint of women. The way the writer retells the story gives the reader the strong impression that the negative picture painted about Lot's wife as we find it in the Bible is not fully acceptable. The calamity that befell Lot's wife is not due to God's punishment. This woman consciously choose destruction as she could not stand to live with Lot any longer, since her husband always acted unfairly toward women, including to her and her two daughters. Lot should not be set as an example, but rather his wife should.

Sewaktu bicara tentang sejarah dalam PL dikelas, maka Penginjil dari gunung ini, bercerita tentang perjalanannya pada saat berada di negeri dimana selalu disampai-sampaikan dalam PL (Israel)… Dari ceritanya terkesan sedikit menggelitik pada saat Pendeta yang senang makan di daong pisang dan suka sayor Gedi ini, mengatakan bahwa pada waktu disekitar laut mati, maka ada banyak patung dari batu karang yang  mungkin mirip-mirip perempuan, katakanlah demikian yang dia dilihat oleh semua rombongan, lalu seorang pemandu mengatakan: “coba cari mana isteri Lot?”, karena semua batu itu sama, maka tak heran saat itu semua mungkin menerka-nerka dan mencari mana yang lebih mirip. Dari apa yang diceritakan tadi terkesan bahwa itu carita mati.
            Walaupun carita mati, namun sangatlah menarik untuk dikisahkan kembali dalam nuansa yang berbeda. Saya sangat terkesan dengan kedua anak lot yang tidak banyak diceritakan. Barangkali kedua anak itu kurang penting juga diceritakan. Namun bolehkah saya kisahkan refleksi tentang kenangan anak perempuan lot terhadap mamanya ini sebagai berikut:
“Saya anak perempuan Lot”. Pasti banyak orang yang tidak tahu bahwa cerita tentang saya dan adik saya ada di dalam Kitab segala Kitab. Tindakan kami jelek sekali. Kami memberi ayah minuman beralkohol[1] sampai ia mabuk supaya ia tidur dengan kami. Saya dan adik saya melacur. Ini perbuatan tidak terpuji. Orang-orang percaya laki-laki atau perempuan, sebaiknya jangan meniru kelakuan saya dan adik saya. Allah melarang hal itu. Melacur adalah dosa. Merusak harga diri pelakunya. Tentang hal itu, saya tidak mau mengungkit-ungkitnya lagi. Yang pasti, sejak kami melarikan diri dari Sodom hidup saya menjadi hambar. Saya merasa kehilangan orang yang sangat saya cintai dan hormati, ibu saya. Kamu tentu pernah dengar tentang ibu saya. Di Sekolah Minggu, riwayat hidup ibu saya cukup populer. Akhir hidupnya sangat tragis. Dalam pelarian ke Zoar, ia menoleh ke belakang. Pada saat itu juga, ia berubah menjadi tiang garam. Hampir semua anak tahu cerita itu. Mereka bahkan hafal di luar kepala nyanyian Sekolah Minggu tentang istri Lot yang menjadi tiang garam. Waktu itu ibu saya tidak taat kepada perintah dua malaikat Allah, karena itu ia dihukum. Saya akui itu kesalahan ibu saya. Akan tetapi, ceritanya tidak berakhir di situ. Ayah saya, Lot, juga melakukan kesalahan. Ia masih berlambat-lambat waktu disuruh malaikat-malaikat itu agar segera keluar kota Sodom. Ketidaktaatan ayah saya tidak dihukum. Permintaannya untuk diizinkan berlari ke Zoar juga diterima. Dengan ayah, Allah mau memberi kompromi, sedangkan dengan ibu, tidak. Allah dalam Kitab Segala Kitab sangat anti perempuan.
Cerita yang kamu baca dalam Kitab di Atas Segala Kitab tentang istri Lot, ibu saya, bukan dari saya. Itu ditulis oleh seseorang tentang dia. Penulis tidak tahu cerita tentang ibu saya. Buku harian ibu saya musnah bersama rumah dan semua milik kami di kota Sodom. Selain Saya yang pernah membaca buku harian itu, tidak ada orang kedua yang masih hidup yang tahu apa isinya. Saya heran mengapa si penulis tidak mewawancarai saya sebelum membuat redaksi akhir dalam cerita tentang ibu saya. Akibatnya, yang terbaca di situ tentang ibu saya lebih banyak yang negatif. Satu contoh yang paling menonjol ialah nama diri ibu saya sama sekali tidak disebut. Ia hanya dikenal sebagai istri Lot. Kamu tahu apa artinya? Hal itu berarti bahwa ayah-ayah dianggap lebih berharga daripada ibu saya. Tanpa laki-laki, perempuan adalah nobody. Ibu saya dikenal karena suaminya. Ini menyedihkan sekali. Pepatah yang mengatakan: "Suaminya dikenal di pintu-pintu gerbang, kalau ia duduk bersama-sama para tua-tua negeri" (Ams. 31:23) tidak punya arti sama sekali. Peran ibu saya yang digambarkan oleh pencerita sangat minim. Bagi penulis Kitab di Atas Segala Kitab, ibu saya adalah nobody padahal ibu saya sebenarnya adalah seorang noble woman. Tanpa ibu, penduduk Sodom dan Gomora pasti menyambut kami dengan cara yang sama seperti mereka menyambut dua malaikat Tuhan yang menginap di rumah kami pada malam terakhir kami di kota itu.
Seperti yang ibu tulis dalam buku hariannya, ia dan ayah mem­bangun kemah mereka di luar tembok kota Sodom dan Gomora se­telah mereka berpisah dengan Abraham. Tiap-tiap hari ayah harus pergi ke padang untuk melihat para hambanya yang menjaga ternak­-ternak kami. Ia sama sekali tidak berminat mengenal orang-orang negeri itu. Ia menganggap mereka kafir. Tahu bahwa tidak mungkin hidup tanpa tetangga, ibu saya membangun hubungan baik dengan para istri penduduk Sodom dan Gomora yang ia temui setiap hari di pasar yang terletak di pintu gerbang. Pertemuan-pertemuan biasa meningkat menjadi saling kenal dan akhirnya terbentuklah persaha­batan. Ibu pernah mengatakan: “Kalau kita datang ke suatu tempat dengan membawa persahabatan, kita akan memperoleh banyak sahabat“. Ayah dan ibu saya mulai diterima oleh penduduk negeri itu. Mereka bahkan diizinkan membangun perkemahan dekat tembok kota itu. Jasa Oom Abraham menyelamatkan raja dan penduduk kota Sodom dan Gomora mempercepat proses integrasi ayah dan ibu saya dengan penduduk negeri itu. Ayah dan ibu saya diberi tempat tinggal di dalam kota Sodom. Mereka dianggap sebagai saudara sendiri oleh penduduk di situ. Orang-orang perempuan di kota itu ramah dan suka membantu. Waktu ibu sakit, mereka datang menemani dan menolong dia. Waktu ibu hamil dan melahirkan saya, teman-teman­nya membantu dia. Ada yang pergi mencari bidan, ada yang mem­buat bubur, menimba air, dan memandikan saya serta ibu. Setelah cukup kuat, ibu bermaksud membayar jerih lelah mereka, tetapi mereka menolak. "Tolong-menolong adalah hal yang biasa di antara sahabat. Kalau kau membayar kami, itu berarti kau tidak menganggap kami sebagai sahabat." Begitulah jawaban para perempuan kota itu kepada ibu.
Waktu adik saya lahir, wanita-wanita itu ada di dekat ibu. Mere­ka juga ikut mengawasi kami bermain bersama teman-teman di tanah lapang kota ketika kami berangsur-angsur besar. Pernah suatu waktu kekeringan menimpa kota tempat tinggal kami. Ibu-ibu harus berjalan berkilometer jauhnya untuk menimba air. Mereka membawakan juga air untuk kami. Ibu sangat terkesan dengan kebaikan hati kaum per­empuan negeri itu. Mereka bukan orang "kafir" seperti yang sering dikatakan ayah. Apa kerja ayah? Menurut yang tertulis di dalam buku harian ibu, ayah tetap sibuk dengan domba-dombanya. Kalau ada waktu kosong ia selalu pergi ke rumah-rumah penduduk untuk mem­beritakan Injil. Ia bilang pada ibu: "Supaya bisa diterima oleh pendu­duk di sini, Injil perlu ditanamkan ke dalam hati mereka". Berbuat baik kepada tetangga, menolong mereka yang ada di dalam kesulitan, tidak ayah lihat sebagai bentuk pemberitaan Injil. Ia sama sekali tidak ambil peduli dengan hal-hal itu. Injil bagi ayah tidak ada sangkut-­paut dengan kehidupan sehari-hari. Berdoa bagi pertobatan orang Sodom dan Gomora, menginjili mereka, adalah kesibukan pokok ayah. Dia bahkan tidak ada di rumah ketika saya dan adik saya lahir. Ia sedang mencari jiwa. Demi Injil, ayah rela mengorbankan istri dan anak-anaknya. Ayah bangga dapat melakukan itu. Ia lebih suka menjadi "hamba Tuhan" daripada menjadi suami dan ayah. Ibu tidak terima hal itu. Bagi ibu, pelayanan selaku hamba Tuhan tidak bisa dipertentangkan dengan tanggung jawab sebagai suami, ayah, bagi keluarganya dan sesama manusia bagi tetangga. Penginjilan harus dilakukan dalam bentuk tindakan dan perbuatan kasih yang nyata dan bukan sekadar khotbah berapi-api dan doa bertele-tele.
Sejauh mana metode penginjilan ayah berhasil dapat dilihat dari peristiwa berikut ini. Suatu hari, waktu itu malam sudah larut, ayah pulang dari penginjilan dengan membawa dua orang asing. Ayah mengajak mereka menginap di rumah kami. Mereka mengaku sebagai malaikat Allah, misionaris dari surga yang diutus ke Sodom dan Gomora. Mereka membawa salam dari Oom Abraham. Ibu benar-benar bingung dengan tamu-tamu itu. Ia harus menyiapkan makan malam bagi mereka, padahal tidak ada lauk-pauk lagi. Ibu menyuruh saya meminta ke rumah tetangga. Sambil makan, kedua tamu itu mengatakan kepada ayah bahwa penduduk kota ini jahat dan berdosa. Mereka datang untuk menghancurkan negeri ini dan penduduknya. "Mereka keterlaluan," kata ibu ketika mengomentari pendapat dua tamu itu. "Mereka utusan iblis, bukan utusan Allah­, biasanya membawa keselamatan, persahabatan, bukan menghina dan mempersalahkan orang. Bayangkan, ribuan orang Sodom dan Gomora yang bersahabat dan menyambut kami para imigran dengan berbagai kemudahan, dibunuh dengan kata-kata yang keji itu. Mereka pura-pura tidak tahu bahwa makanan yang disantap itu adalah pemberian tetangga kami. Adakah orang jahat yang sudi memberi tumpangan dan makanan bagi orang asing?" Ibu benar-­benar tidak percaya kalau kedua orang itu adalah malaikat Allah. Baginya mereka tidak lain dari nabi palsu yang menggunakan nama Allah dan agama untuk kepentingan-kepentingan pribadi. Ibu me­mang percaya pada hari penghakiman, tetapi masa itu belum tiba. Sekarang adalah masa anugerah. Jika mereka benar datang dari Allah, mereka harus membawa berita pengampunan, bukan penghukuman. Ibu kecewa terhadap sikap ayah yang tidak menegur mereka, tetapi malah setuju dengan apa yang mereka katakan. Rupanya percakapan kedua orang tamu tadi didengar orang lain. Segera tersiar kabar tentang keangkuhan dua orang asing itu. Dalam sekejap saja telah berkumpul puluhan orang. Mereka mengepung rumah kami dan meminta agar kedua orang yang sombong itu diserahkan kepada mereka. Penduduk Sodom dan Gomora hendak memberi pelajaran kepada misionaris-misionaris yang tak tahu berterima kasih itu. Namun, ayah melindungi tamu-tamunya, sehingga orang banyak itu menjadi marah. Bisa dimaklumi kemarahan mereka pada ayah. Mereka menuduh ayah bekerja sama dengan orang-orang yang menghina mereka. Waktu mereka terus mendesak, ayah keluar untuk berbicara dengan mereka. Ibu terkejut dan marah sekali karena ayah justru menyuruh saya dan adik saya keluar melayani keinginan para preman itu sebagai pengganti dua temannya. Ia rela mengorbankan anak-anak gadisnya demi tamu-tamunya. Keselamatan kedua orang itu lebih penting daripada nyawa dua anak perempuannya. Ayah mengorbankan perempuan demi laki-laki. ibarat pepatah, kera di hutan dipangku sedangkan anak sendiri dicampakkan. Orang-orang Sodom dan Gomora yang dianggap jahat oleh dua misionaris itu, ternyata mengenal kasih. Mereka tidak mau membalas kebaikan dengan kejahatan. Usul ayah untuk mengorbankan anak perempuan­nya ditolak. Mereka menuntut orang yang kurang ajar, bukan orang yang berbuat baik terhadap mereka. Benarlah apa yang pernah dikatakan ibu: "Kalau kita datang ke suatu tempat dengan persahabat­an, kita akan menemukan banyak sahabat, sebaliknya kalau kita membawa permusuhan, kita akan memperoleh banyak musuh".
Malam itu adalah kali terakhir ibu berbicara dengan ayah. Seperti biasa setiap kali ayah pulang ke rumah, mereka bertengkar lagi. Ibu kecewa kepada ayah karena menomorduakan rumah tangga dan keluarga, sedangkan ayah menuduh ibu tidak mendukung pelayan­annya sebagai hamba Tuhan. Ibu memang tidak ingin menyelamatkan diri sendiri. Ia bukan orang oportunis. Ia mengikuti perintah kedua orang yang menyebut dirinya malaikat karena tidak ingin ayah kehilangan muka. Ibu tetap menghormati ayah sekalipun ayah tidak pernah mempedulikan dia. Itu sebabnya ia menoleh ke belakang di pertengahan jalan menuju ke Zoar. Ia ingin mati bersama para ibu lain yang ada di kota Sodom dan Gomora. Ia solider dengan nasib sahabat-sahabatnya. Mereka baik sekali terhadap ibu. Ia tidak tega mengkhianati kasih mereka. Ia tidak ingin meniru kebanyakan orang yang lari meninggalkan negeri tempat mereka menetap pada masa sulit. Saya kira, sikap ayah terhadap keluarga, ibu, saya, dan adik saya selama kami tinggal di Sodom dan Gomora, ikut menentukan keputusan ibu untuk menoleh ke belakang[2]. Apa mungkin bisa dikatakan dalam kalimat kiasan “Pake kwa itu otak deng hati” jangan cuma pake mulu deng kaki ” .
Bagaimana dengan kita sekarang, apakah kita juga  ikut menentukan keputusan TUHAN Allah untuk menghukum umat di daerah ini karena tidak ada wujud kasih dalam kebersamaan kita di gereja kita ini? Mari kita renungkan bersama.

Kesan
Memang perlu juga mengkisahkan sisi lain dari kehidupan Tete Willie, yang mana banyak kali memberi inspirasi... karena itu tugas kitalah gererasi muda untuk mengenang kembali apa yang sudah pernah disampai-sampaikannya... untuk kiranya menjadi kajian kita bersama guna kemajuan dari upaya berteologi seperti yang sering dikatakannya, baik di kelas PPsT UKIT dan juga di berbagai kesempatan.
Bagitu dulu jo... kong slamat jo (Logat Tomohon)... hari jadi ke-76. Kiranya Tete Manis slalu kase sehat pa tete Willie.

Wa’salam mualaikum, bahclam

Penyunting
Kiki Arthur


[1] Bnd. Cairms, I. J., Alkoholisme, Jakarta: BPK Gunung Mulia.1982, dan Lihat, R.A.D. Siwu, Efek dan Prospek Alkohol, Materi Seminar PKB GMIM, 1989
[2] Bnd. Kejadian 19:1-38

Tidak ada komentar:

Posting Komentar